Maliya Sing Umbara: Naga, Pacul dan Kesucian Nusantara – Peneleh Research Institute

Maliya Sing Umbara: Naga, Pacul dan Kesucian Nusantara

Hari ini (11/06) Jurnal Ilmu Pengetahuan Nusantara (JIMPITAN) menyelenggarakan acara diskusi yang dipandu oleh Assoc. Prof. Dr. Aji Dedi Mulawarman. Acara ini sebagai pendorong sekaligus penguat paradigma Nusantara, hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh Assoc. Prof. Dr. Ari Kamayanti dalam sambutannya. Beliau menekankan pentingnya membangun sekaligus melihat Nusantara dengan kacamata Nusantara sendiri. Agenda ini juga sebagai salah satu upaya menguatkan kembali nilai-nilai budaya.

Lebih lanjut, Assoc. Prof. Dr. Ari Kamayanti menjelaskan bahwa budaya dan agama memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Nusantara. Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya dan agama tercermin dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam seni dan upacara adat.

Poin selanjutnya yang disampaikan adalah mengenai pentingnya belajar dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Menurut beliau, ilmu pengetahuan memiliki tujuan untuk mendapatkan dan mendekati kebenaran sejati.

Selain itu, Dr. Ari Kamayanti juga menyoroti pentingnya membangkitkan kembali kaidah paradigma Nusantara dalam teori-teori yang diterapkan di Indonesia. Hal ini diharapkan dapat membangkitkan kebanggaan dan semangat kesatuan di antara masyarakat Nusantara.

Sambutan diskusi ini ditutup dengan harapan agar para peserta tidak hanya menikmati sesi diskusi, tetapi juga siap untuk berkontribusi dan menjaga semangat kebersamaan dalam menjayakan negeri Nusantara seperti zaman kejayaan di masa lampau.

Assoc. Prof. Dr. Aji Dedi Mulawarman selaku pembicara pada sesi pertama membedah tulisanya berjudul Maliya Sing Umbara, beliau Menjelaskan.

Konsep “Maliya Sing Umbara” adalah sebuah gagasan yang menggambarkan cara hidup manusia Nusantara yang berusaha untuk meniru tindakan dan perilaku orang suci (wali). Dalam konsep ini, simbol penting yang digunakan adalah Naga, yang melambangkan kesucian yang melintasi ruang dan waktu, baik yang nyata (cognita) maupun yang melampaui yang nyata (incognita). Tujuan dari hidup dengan cara ini adalah untuk mencapai kebaikan, kebenaran, dan keadilan.

Maliya Sing Umbara menekankan bahwa manusia Nusantara bisa mencapai tingkatan kesucian dengan dua jalan yang integratif:

1. Jalan Konsepsi Kebudayaan: Jalan ini melibatkan pemahaman dan penerapan nilai-nilai budaya. Contohnya adalah metafora Pacul dari Sunan Kalijaga, yang mengajarkan pentingnya menghilangkan kesombongan karena kesombongan dianggap sebagai penghalang utama untuk mencapai kesucian. Pacul atau cangkul dalam konteks ini melambangkan usaha untuk menggali dan membersihkan diri dari sifat-sifat negatif.

2. Jalan Praksis Religiositas: Jalan ini mengacu pada tindakan nyata dalam menjalani kehidupan beragama. Salah satu referensinya adalah ayat-ayat Al-Qur’an dalam Surat Kahfi (18) ayat 85, 89, dan 92, yang menggambarkan perjalanan Raja Zulqarnain yang mengikuti petunjuk Ilahi dalam menempuh jalan kesucian. Frasa “faat ba’a sababa” menunjukkan perjalanan spiritual yang dilakukan atas nama Allah dengan panduan kenabian.

Dua jalan ini mengajarkan manusia Nusantara untuk menegakkan prinsip “Alif” dan menghancurkan berhala pengetahuan yang salah, menuju apa yang disebut sebagai “The Living Science” dan “The Living of Everything.” Ini adalah konsep sains yang hidup, yang mencakup dan melampaui ruang dan waktu, menuju kondisi di mana segala sesuatu berada dalam keadaan kesucian.

Dengan memahami dan menjalani dua jalan integratif ini, manusia Nusantara dapat mencapai kesucian yang tidak hanya terbatas pada dimensi duniawi tetapi juga melampaui dimensi tersebut, menuju Ruang dan Waktu Berkesucian.

You might like...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *